Jumat, 04 Mei 2012

Topeng


Cukup lama kuperhatikan gadis itu tak jemu memandang penuh kekaguman pada lukisan seukuran  1 m x 0,5 m dipojok pameran. Diperhatikan inchi demi inchi goresan itu dengan penuh rasa takjub. Lukisan tentang sesosok gadis tergambar hitam putih menggenggam topeng tersenyum di tangan kiri dan wajah aslinya yang sedang menangis pilu. Entah mengapa gadis itu seperti tersihir hingga kakinya enggan melangkah pergi.

Ragu-ragu kuseretkan kakiku mendekatinya. “Permisi mbak, maaf pamerannya harus segera tutup”.

“Oh iya mas” kulihat sepintas matanya berkaca-kaca. Disempatkannya melihat kembali lukisan itu lekat-lekat, nama pelukis yang tertulis dibawah judul lukisan menarik perhatiannya “Rizki?”

“Kalau masih belum puas, pamerannya masih akan buka sampai tiga hari kedepan kok”

“iya… um… mas kenal dengan orang yang membuat lukisan ini?”

“Rizki? Iya aku aku kenal dengan Rizki”

“Beneran? Bisa nemuin aku sama dia nggak?”

“Hah?”

“Kenapa mas? Dia belum meninggal to?”

“Hahaha” tawaku meledak seketika. “Rizki nggak meninggal kok…. Setidaknya belum…” ucapku setelah tawa reda, sambil menunjukkan name tag kepanitianku. Gadis yang akhirnya kutahu bernama Vita itu tersipu malu.

Itu dua tahun lalu. Dua tahun aku berpacaran dengan dia. Selama itu pula aku menyadari aku tidak pernah mencitai Vita. Ketertarikanku akan kepribadiannya yang cerdas dan riang membuatku suka padanya lalu berubah menjadi sayang. Tapi cinta? Tidak. Aku tidak pernah mencitai Vita. Aku juga tahu dia menyadari hal itu. Hanya saja dia lebih memilih diam dan tidak menyingungnya kecuali bersikap sebagai kekasih dan pacar yang sempurna bagiku. Yang kutahu Vita mencintaiku. Sangat mencintaiku.

Dengan semua kondisi itu, aku tetap merasa pedih ketika melihat dia tergolek lemah di ranjang serba putih ditengah rumah sakit yang besar ini. Wajahnya yang senantiasa merona merah, kini pucat pasi. Bibirnya nan senantiasa merah muda alami, kini kering dan terpecah. Senyum nan senantiasa bertahtah disana kini nampak sedih.

Kukecup bibir itu dalam-dalam. “Bibirku sudah nggak enak lagi untuk dicium ya Riz?” kata-katanya berat tersenggal. Aku tercekat, betapa kuatnya kekasihku ini, hingga dia bisa dengan ceria melontarkan guyonan pada keadaanya yang sangat lemah saat ini! Kugelengkan kepalaku “Bibirmu masih yang ternikmat untuk kekecup”

“Kamu tuh nggak pantes nge-gombal tahu nggak sih?” dia terkekeh yang sedetik kemudian meringis ngilu menahan kepalanya yang terasa pening tak terperi. Hatiku hancur melihat penderitaanya, rasa sakitnya. “Riz? Boleh aku minta sesuatu?”

“Huum? Apa?”

“Aku tahu selama dua tahun berjalan kita berpacaran kamu tidak pernah benar-benar mencintaiku. Karena itulah kau selalu bilang kalau kamu menyayangiku, tapi tidak pernah mengatakan I love You, karena pada kenyataannya hanya ada rasa sayang disana tidak lebih”

“….” Aku terhenyak.

“Tak perlu merasa bersalah Riz, percayalah aku bahagia dengan hubungan kita selama ini. Sangat bahagia” dia berhenti karena rasa sakit dikepalanya kembali datang.

“Apa keinginanmu?”

“Sekali saja sebelum aku pergi, katakan tiga kata itu untukku”

Kupandangi lekat-lekat kedua mata indah yang bulat padat serupa buah almond. Terlihat lelah, terlihat pasrah. Dalam kesakitan yang amat sangat itu masih terasa cinta disana. “Kau tahu aku tidak bisa, aku tidak akan bisa mengatakannya padamu”

Hening. Kami berdua hanya diam dalam kamar seluas tiga kali empat meter itu. Henry kaka laki-laki Vita masuk  menyeruak kedalam kamar dan menarikku keluar. Setengah sadar aku diseret keluar kepelataran parkir. Beberapa pukulan mendarat di pipi dan perutku. Begitu saja, rasa sakit itu tetep terasa namun tak seberat dan sesakit yang kurasakan didalam dadaku. Aku menyadari aku telah benar-benar mencintai Vita, namun alih-alih mengungkapnya aku malah bersembunyi dalam kebohongan.

“Kau? Kenapa tidak kau turuti saja keinginan Vita? Kenapa kau begitu tidak peduli” Henry berteriak berang.  Suaranya membahana di lapangan parkir yang sepi.

Pukulan demi pukulan terus kuterima tanpa melawan ataupun menghindar. Ingatanku melayanag liar pada moment-moment bahagiaku denga Vita. Bagaimana dia akan tertawa riang hanya karena hal-hal kecil yang kulakukan untuknya. Candanya yang sarcastic tapi cerdas. Bagaimana dia mengatakan bahwa selalu ada alasan untuk tersenyum bahkan ketika keadaan menjadi sulit.

Aku ambruk. Henry menduduki perutku dan terus memukul melepaskan semua amarahnya. Aku semakin tenggelam dalam lamunanku. Bagaimana awalnya aku menemukan Vita mengerang kesakitan, menangis menahan perih kepalanya sambil nafasnya tersenggal hebat. Betapa tersiksa ketika seperti orang trance dia mengacuhkan panggilanku, tenggelam dalam dunianya.

Masih kuingat bagaiman dokter memfonisnya bahwa dia tidak akan bertahan lebih dari enam bulan. Kangker otak stadium IV katanya. Tidak mungkin, Vita terlalu muda, dia tidak akan mati.

Tidak, tidak, tidak. Aku berusaha membohongi diriku bahwa dia tidak akan mati. Tidak enam bulan lagi, tidak enam tahun lagi. Dia akan menemaniku, dia akan selalu disisiku. Aku terus meyakinkan diri sendiri bahwa dokter salah.

Sayangnya perkiraan dokter benar-benar salah. Waktu yang dikirakan enam bulan kedepan datang lebih cepat. Ketika seminggu lalu Vita kembali collapse, aku tahu bahwa dia tidak menjalani terapi bahkan tidak pula mengkonsumsi obat-obat dari rumah sakit yang baginya lebih menyiksa daripada rasa sakit didalam kepalanya.

Terapi dan obat-obatan itu memaksa tubuhnya untuk memuntahkan semua cairan dalam tubuhnya. Dalam sekejap  menurunkan berat badannya, merontokkan rambut rambutnya yang hitam kecoklatan. Tubuhnya mulai kurus kering, pucat. Tersiksa tubuh dan batin, dia memutuskan berhenti. “Aku ingin tetap terlihat cantik didepanmu”.

Entah apa yang membuatnya berpikir itu akan menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bahagia ketika aku harus lebih cepat kehilangan dia hanya karena dia ingin terlihat tetap cantik dihadapanku.

“Aku tidak takut akan masa depan ataupun menyesali masalalu, ada kau disini yang menguatkanku saat ini.... tak ada lagi yang kubutuhkan untuk melewati sisa hidupku"  kata-kata itu terus mengiang di otakku sampai akhirnya aku tersadar bahwa aku masih terbaring di lahan parkir rumah sakit. Henry sudah tidak nampak lagi.

Aku memandang lurus keatas, kulihat bintang-bintang dilangit redup sendu. Ada rasa masgul, seperti sebuah beban entah dari mana. Kuentaskan jauh-jauh rasa sakit disekitar tubuhku. Tertatih menuju kembali kekamar Vita, kekasihku.

Didepan kamar anggota keluarga telah berkumpul menangis. Terjadi sesuatu. Aku berlari sekuat  tenaga. Rasa sakit akibat pukulan-pukulan Henry benar-benar telah hilang namun karena suatu alasan dadaku terasa sesak. Menerobos kerumunan keluarga diluar kamar aku temukan Vita terbujur diam. Dikirinya Hendry menangis parau, sedangkan ibunya disisi lain.

***
Disinilah aku sekarang. Disisi nisannya. Dia telah pergi selamanya. Kutarik nafas panjang memanjatkan doa pada ilahi.

Hidupku kini terasa lengang. Semua terasa kosong. Beban kehilangannya sekin sesak karena banyak hal yang kusesali. Kenapa tak kukatakan aku mencintainya. Kenapa aku tak berada disampingnya ketika dia pergi

Disana dimakam itu aku menangis. Berbicara seperti orang tidak waras.  Menceritakan kembali kisah-kisahku tentang kekasihku kepada nisan yang kaku. Para pelayat dan keluarga telah pergi lebih awal.

Seseorang menepuk pundakku memaksaku menoleh kearahnya. “Henry?”

“Maaf soal kejadian semalam”

“Nggak papa, aku emang pantas dihajar”

“Kayaknya nggak juga?”

“….”
“Vita… dia bilang kalau itulah Rizki… Rizki tidak mau mengatakan kalau Dia mencintaiku karena bila aku tahu dia mencintaiku, maka aku akan tahu kalau dia akan hancur ketika aku pergi”

Aku tertegun, kupalingkan kembali pandanganku kearah nisan marmer dingin bertulisakan nama Vita. Henry kembali menepuk pundakku kemudian melangkahkan kakinya pergi.

***

Kupandangi kembali lukisan gadis hitam putih dengan wajah sendu dan topeng tersenyum ditangan kirinya. Aku tersadar betapa Vita bisa melihat langsung kedalam diriku yang entah karena berbagai alasan selalu menutupi diriku sebenarnya. Aku seperti wanita dalam lukisan itu yang menyembunyikan sejatiku melalui topeng-topeng kepalsuan.

Regard
Grape_Strife/Clowreedt
My World, My Rules
Contact me : grape_strife@yahoo.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar